Senin, 28 Februari 2011

Membelok ke Gunung Kelimutu

Angin barat yang mengakibatkan cuaca buruk dan gelombang besar itulah yang akhirnya mengurungkan niat saya dan imron (iim) untuk menyebrang ke Pulau Wailago. Iya memang, pada hari itu, minggu 27 februari 2011 kami berencana ke sana. Tapi akhirnya rencana kami belokan menuju Taman Nasional Gunung Kelimutu.

Sore itu, kami berangkat menuju Gn.Kelimutu menggunakan travel dari maumere. Dengan harga tiket tidak normal sebesar 100rb Rupiah (normal 70rb). Sepanjang perjalanan yg “membosankan” selama 3 jam, kami hanya di suguhkan pemandangan remang malam diantara tebing, hutan dan sederhananya lampu penerangan jalan. Dan akhirnya kami pun sampai di Desa Moni, Desa yang terletak di kaki Gn.Kelimutu. Secara administratif, Gunung Kelimutu ini terletak di Desa Pemo, Kecamatan Kelimutu, Kabupaten Ende, NTT. Tetapi karena letaknya yang berada di Jalan lintas Flores inilah yang membuat Desa Moni terkenal dan dijadikan gerbang masuk ke Taman Nasional Gunung Kelimutu, dimana banyak terdapat tempat penginapan atau hotel bahkan home stay dengan harga yang bervariatif. Karena ketika kami tiba sudah jam 9 malam, kami mencari penginapan untuk beristirahat semalam sebelum paginya melakukan ”Summit Attack” untuk mengejar sunrise.

Janji tinggal janji walaupun alarm sudah terpasang, apa daya kami pun kesiangan..hehhehe. Dan niat untuk menyaksikan sunrise pun pupus sudah. Dengan menyewa motor pada pemilik hotel, kami pun berangkat dengan semangat penuh di dada menuju Puncak (i’m coming..!!). 30 menit berlalu kami pun sampai pintu gerbang Taman Nasional Gunung Kelimutu. Setelah membayar retribusi, perjalanan kami lanjutkan menuju terminal (tempat parkir) selama 10 menit. Kami pun sampai di terminal, lalu perjalanan pun harus dilanjutkan dengan berjalan kaki selama satu jam menuju puncak,pffiuhh.. tetapi dengan jalur trekking yg cukup jelas dan sedikit menanjak, tak membuat kami kesulitan mencapai puncak Gn.Kelimutu.

Ketika berada di puncak dengan ketinggian 1.639 Mdpl ini, saya terpesona oleh keindahan tiga danau yang memiliki nama, arti dan historis berbeda. Penduduk lokal khusus nya suku lio menyebutnya dengan nama danau Tiwu Ata polo (danau arwah para orang tua) dan danau Tiwu Nu’u Mari Koo Fai (danau arwah muda-mudi) letaknya saling berdekatan serta danau Tiwu Ata mbupu (danau arwah orang jahat) yang letaknya agak berjauhan dengan kedua danau sebelumnya. Mereka percaya apabila ada yang meninggal maka arwahnya akan masuk kedalam salah satu kawah yang ada di gunung ini. Selain itu masing-masing danau ini memiliki tiga warna yang berbeda dan selalu berubah-ubah.



Legenda Lokal

Selain terkenal dengan keindahan alamnya Taman Nasional Gunung Kelimutu juga merupakan salah satu wilayah habitat binatang liar salah satunya monyet ekor panjang. Karena ketika berada di puncak kami menjumpai beberapa monyet ekor panjang yang sedang mencari makanan sisa pengunjung di tempat sampah, mungkin hal inilah yang membuat pihak Taman nasional Gunung Kelimutu membuat feeding ground sebagai tempat untuk memberi makan monyet ekor panjang tersebut.

Menjelang siang, setelah puas potret sana-sini, kami memutuskan untuk kembali ke penginapan di Desa Moni.

Siang itu juga, kami kembali ke Maumere dengan membungkus satu lagi pengalaman berharga untuk dibawa dengan pengalaman lainnya selama kami di Flores.

Jakarta tunggu aku..!!!














**Sedikit Penampakannya nih
Saya

Tugu Puncak
Salah Satu Danau

Jalur buatan menuju Puncak


Selasa, 15 Februari 2011

Suleng Waseng Ex Solor 1

Solor adalah sebuah pulau yang terletak di Kepulauan Nusa Tenggara, yakni di sebelah timur Pulau Flores. Pulau ini dibatasi oleh Selat Lowotobi di barat, Selat Solor di utara, Selat Lamakera di timur, serta serta Laut Sawu di selatan.
Secara administratif, Pulau Solor termasuk wilayah Kabupaten Flores Timur, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Indonesia

Pulau ini merupakan satu di antara dua pulau utama selain Pulau Adonara ( Pulau yang akan saya singgahi beberapa hari kemudian) pada kepulauan di wilayah Kabupaten Flores Timur. Tanggung jawab akan kerjaan membuat kami harus bolak-balik menyebrang ke Pulau Solor dari Kota Larantuka. Dengan ongkos naik Kapal Penyebrangan seharga 10rb perorang dan jika membawa motor akan dihitung 1 0rang. Hari itu Rabu, 9 februari 2011 saya menyebrang bersama partner kerja, Imron atau Iim yang sudah saya kenal sebelum sama-sama bekerja di bidang yang sama. Tapi disini saya tidak akan menceritakan tentang apa pekerjaan saya dan apa yang saya lakukan disana. Karena saya hanya mengangkat demografinya saja.

Tak terasa sejam kami menyebrangi Selat Solor dan berlabuh di Desa Pamakayoh. Salah satu dari empat Pelabuhan singgah yang berada di Pulau Solor. Kami pun langsung menuju tempat salah satu tujuan saya, Desa Suleng Waseng. Desa yang berada di wilayah selatan Pulau Solor ini berjarak kira-kira sejam dari Desa Pamakayoh. Dengan bantuan GPS dan Navigasi "Punten" (bertanya ke penduduk). Sepanjang perjalanan Kami disuguhi oleh pemandangan pantai karang dengan sedikit pasir putih serta keramahan tegur-sapa setiap penduduk seperti tidak menunjukan betapa kerasnya kehidupan mereka di pulau yang bercuaca panas serta banyak ditumbuhi batu karang atau kapur serta terbatasnya sumber air bagi mereka.

Dan kami pun sampai di tempat tujuan Desa Suleng Waseng. Sebuah Desa yang hanya punya dua sumber air dan belum mendapat pasokan listrik dari pemerintah ini (kecuali Suleng Waseng semua wilayah di Pulau Solor telah menikmati listrik walaupun hanya 12 jam saja), wilayah yang hanya memiliki sekitar 40-an KK ini mayoritas bekerja sebagai petani, ada juga yang bekerja sebagai nelayan dan mencoba mengadu nasib hingga jauh di sebrang pulau bahkan menjadi TKI ke malaysia.

Best pict, Pelangi dgn latar Gn.Lewotobi
Untuk budaya maupun ada istiadat, Desa Suleng Waseng masih memegang teguh adat istiadat yang telah diwariskan oleh para leluhur mereka. Seperti Upacara menyambut musim panen maupun musim tanam tiba. Selain sistem pemerintahan negara, di Suleng Waseng maupun Pulau Solor pada umumnya juga terdapat sistem pemerintahan berdasarkan suku. Kepala suku memegang peranan dalam hal upacara adat, menjatuhkan sanksi adat, dan hal-hal lain yang lebih bersifat spiritual. Sedangkan para pemegang kekuasaan sistem pemerintahan tetap dipegang kepala dusun, kepala desa, lurah atau camat. Di antara semuanya terjalin hubungan yang baik dan tidak saling melangkahi kewenangan masing-masing.

Sebuah wilayah yang kurang perhatian dari Pemda setempat apalagi Pemerintah Pusat ini. Dan penduduk setempat selalu berharap dan berharap ada perubahan di wilayah mereka.

Hidup Indonesia..!!!











** Sedikit Dokumentasi


Motor diatas Kapal
Pantai yang landai dan bersih
Serasa di Dunia Lain
Duuuuhh,, mau berenang..